24/03/19

Si Dungu



Namanya Eni, dia tinggal di sebuah desa yang dekat dengan kaki gunung. Dia adalah seorang anak remaja SMA yang tidak normal dalam lingkungannya, orang-orang tua dan teman-teman sebayanya sering mengatakannya Si Dungu.

Aktivitas keseharian eni sangatlah membosankan, dia bangun pada waktu subuh, pergi sekolah saat matahari terbit, pulang rumah saat senja, dan kembali tidur di malam hari. Tidak ada yang spesial dalam kehidupannya.

Waktu pagi itu dia habiskan untuk mencuci pakaian, menyapu halaman, kemudian membuat makanan untuk ayah dan ibunya, lebih tepatnya untuk ibunya yang saat itu sedang sakit parah, kenapa begitu ?, karena ayahnya seorang pemabuk dan jarang pulang rumah.

Sehabis menyiapkan makan pagi, eni bersiap-siap berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, dia langsung menyapu halaman sekolah, itu adalah pekerjaan sampingan eni untuk mendapatkan uang makan sehari-hari. Pekerjaannya adalah membersihkan halaman sekolah setiap pagi dan sore.

Eni baru akan pulang dari sekolah sekitar jam 4 sore, sebenarnya jam 3 sore tapi karena sebelum pulang rumah dia harus membersihkan halaman sekolah, dan kebetulan waktu itu dia adalah siswi kelas tiga yang harus mengikuti bimbingan belajar yang diadakan pihak sekolah untuk menghadapi ujian nasional.

Eni tak terlalu khawatir pulang lebih lama karena setiap pagi sebelum eni berangkat sekolah, dua orang temannya yang saat itu sudah tidak bersekolah akan datang ke rumah dan membantu eni untuk menjaga ibunya.

Sepulang sekolah, eni selalu mampir di perpustakaan sekolah untuk mengembalikan dan meminjam beberapa buku. Dari perpustakaan dia akan datang ke sebuah sungai untuk melepas penat, kebetulan sungai itu adalah jalan pulang ke rumah, jadi dia sering berdiam diri di sungai itu.

Eni tiba di rumah saat langit mulai gelap. Sesampainya di rumah, eni langsung ke dapur mengambil sebuah baskom dan handuk untuk membilas badan ibunya. Saat itu eni tak punya uang untuk merawat ibunya di rumah sakit, biaya sehari-hari saja hanya dia dapat dari pekerjaannya membersihkan halaman sekolah tiap pagi dan sore.

Selesai membasuh dan mengganti pakaian ibunya, eni kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam dan membasuh untuk dirinya sendiri. Setelah menggganti pakaian, eni memberi ibunya makan kemudian dia pergi ke teras rumah untuk mengerjakan tugas sekolah dan membaca buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan.

Sehabis mengerjakan tugas dan membaca buku, eni kembali ke kamarnya dan segera tidur. Begitulah aktivitas keseharian eni, sangatlah membosankan untuk anak-anak seusianya. Ditambah lagi orang-orang di desanya selalu menghina eni dengan sebutan si gadis dungu.

Eni mendapatkan gelar si gadis dungu saat dia masih duduk di sekolah pertama menengah. Waktu itu eni lari dari rumah karena menolak permintaan ayah dan ibunya yang akan menjodohkan eni dengan pria dewasa dari kampung sebelah. Ibunya sakit parah karena tertabrak mobil saat sedang mencari eni.

Desa eni itu memang desa tertinggal sehingga kawin muda untuk anak perempuan menjadi satu-satunya jalan pintas untuk terbebas dari kemiskinan. Saat itu eni menolak dijodohkan karena dia punya prinsip dan keyakian berbeda dari penduduk desa lainnya.

Penduduk di desa itu tidak berpendidikan dan memiliki budaya pesimisme, tapi menurut mereka itu sudah takdir bagi desa mereka, dan orang-orang yang berada diluar dari prinsip desa akan dikatakan dungu dan abnormal. Eni adalah salah satunya.

Eni dianggap abnormal karena kebiasaanya yang sering berdiam diri di sungai, setiap harinya hanya terus-terusan membaca buku, dan menolak untuk dijodohkan dengan pria kaya. Mereka menganggap cita-cita eni menjadi seorang dokter terlalu tinggi dan mustahil dicapai.

Setiap hari eni selalu menerima cibiran dari orang-orang desa, tapi karena sudah terbiasa eni tidak merisaukannya dan dia menganggap cibiran itu adalah sebagian dari dirinya. Eni bukanlah gadis kuat, dia hanya terbiasa. Eni pernah tidak keluar rumah selama seminggu karena takut dihina, tapi berkat tekad kuatnya dia memberanikan diri menghadapi cibiran itu.

Saat pengumuman ujian nasional, eni mendapatkan nilai tertinggi dari teman-temannya yang lain. Tentunya eni sangat bahagia mendengar namanya terpanggil sebagai siswi dengan nilai ujian paling tinggi di SMA itu. Dalam beberapa tahun terakhir belum ada siswa yang mendapat nilai setinggi eni.

Eni sudah tidak sabar ingin menunjukan nilai itu kepada ibunya. Sepulangnya dirumah eni memanggil ibunya dengan perasaan gembira tapi ibunya tak menjawab, eni langsung berlari ke kamar ibunya dan dia dapati ibunya sudah tergeletak lemas di lantai.

Eni berteriak minta tolong, kemudian ibunya berbisik dan memohon agar eni segera menikah sehabis penguburan ibunya. Eni yang saat itu sedang menangis pasrah, tidak dapat berkata-kata apalagi membantah. Dia terpaksa harus berjanji untuk memenuhi permohonan itu dan merelakan cita-citanya.

Begitulah kisah hidup seorang eni yang harus mengorbankan cita-citanya hanya karena persoalan doktrin budaya. Sekarang memang pemahaman kebanyakan orang mulai bergeser ke paradigma pesimisme, sehingga orang-orang yang berbeda keyakinan dari lingkungannya akan dianggap berbeda dan aneh, bahkan diasingkan.

Mengatasnamakan kearifan lokal sehingga harus mengikuti doktrin budaya walaupun itu pembodohan dan merelakan prinsip serta tekad yang lebih rasional. Miris melihat hal-hal seperti itu. Mereka memandang rendah orang-orang yang berbeda sekalipun orang-orang berbeda itu pergi kearah yang lebih baik.