Namanya Eni, dia tinggal di sebuah
desa yang dekat dengan kaki gunung. Dia adalah seorang anak remaja SMA yang
tidak normal dalam lingkungannya, orang-orang tua dan teman-teman sebayanya
sering mengatakannya Si Dungu.
Aktivitas keseharian eni sangatlah
membosankan, dia bangun pada waktu subuh, pergi sekolah saat matahari terbit,
pulang rumah saat senja, dan kembali tidur di malam hari. Tidak ada yang
spesial dalam kehidupannya.
Waktu pagi itu dia habiskan untuk
mencuci pakaian, menyapu halaman, kemudian membuat makanan untuk ayah dan ibunya,
lebih tepatnya untuk ibunya yang saat itu sedang sakit parah, kenapa begitu ?,
karena ayahnya seorang pemabuk dan jarang pulang rumah.
Sehabis menyiapkan makan pagi, eni
bersiap-siap berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, dia langsung menyapu
halaman sekolah, itu adalah pekerjaan sampingan eni untuk mendapatkan uang
makan sehari-hari. Pekerjaannya adalah membersihkan halaman sekolah setiap pagi
dan sore.
Eni baru akan pulang dari sekolah
sekitar jam 4 sore, sebenarnya jam 3 sore tapi karena sebelum pulang rumah dia
harus membersihkan halaman sekolah, dan kebetulan waktu itu dia adalah siswi
kelas tiga yang harus mengikuti bimbingan belajar yang diadakan pihak sekolah
untuk menghadapi ujian nasional.
Eni tak terlalu khawatir pulang
lebih lama karena setiap pagi sebelum eni berangkat sekolah, dua orang temannya
yang saat itu sudah tidak bersekolah akan datang ke rumah dan membantu eni
untuk menjaga ibunya.
Sepulang sekolah, eni selalu mampir
di perpustakaan sekolah untuk mengembalikan dan meminjam beberapa buku. Dari
perpustakaan dia akan datang ke sebuah sungai untuk melepas penat, kebetulan
sungai itu adalah jalan pulang ke rumah, jadi dia sering berdiam diri di sungai
itu.
Eni tiba di rumah saat langit mulai
gelap. Sesampainya di rumah, eni langsung ke dapur mengambil sebuah baskom dan
handuk untuk membilas badan ibunya. Saat itu eni tak punya uang untuk merawat
ibunya di rumah sakit, biaya sehari-hari saja hanya dia dapat dari pekerjaannya
membersihkan halaman sekolah tiap pagi dan sore.
Selesai membasuh dan mengganti
pakaian ibunya, eni kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam dan membasuh
untuk dirinya sendiri. Setelah menggganti pakaian, eni memberi ibunya makan kemudian
dia pergi ke teras rumah untuk mengerjakan tugas sekolah dan membaca buku-buku
yang dia pinjam dari perpustakaan.
Sehabis mengerjakan tugas dan
membaca buku, eni kembali ke kamarnya dan segera tidur. Begitulah aktivitas
keseharian eni, sangatlah membosankan untuk anak-anak seusianya. Ditambah lagi
orang-orang di desanya selalu menghina eni dengan sebutan si gadis dungu.
Eni mendapatkan gelar si gadis
dungu saat dia masih duduk di sekolah pertama menengah. Waktu itu eni lari dari
rumah karena menolak permintaan ayah dan ibunya yang akan menjodohkan eni dengan
pria dewasa dari kampung sebelah. Ibunya sakit parah karena tertabrak mobil
saat sedang mencari eni.
Desa eni itu memang desa tertinggal
sehingga kawin muda untuk anak perempuan menjadi satu-satunya jalan pintas
untuk terbebas dari kemiskinan. Saat itu eni menolak dijodohkan karena dia
punya prinsip dan keyakian berbeda dari penduduk desa lainnya.
Penduduk di desa itu tidak
berpendidikan dan memiliki budaya pesimisme, tapi menurut mereka itu sudah
takdir bagi desa mereka, dan orang-orang yang berada diluar dari prinsip desa
akan dikatakan dungu dan abnormal. Eni adalah salah satunya.
Eni dianggap abnormal karena
kebiasaanya yang sering berdiam diri di sungai, setiap harinya hanya
terus-terusan membaca buku, dan menolak untuk dijodohkan dengan pria kaya.
Mereka menganggap cita-cita eni menjadi seorang dokter terlalu tinggi dan
mustahil dicapai.
Setiap hari eni selalu menerima
cibiran dari orang-orang desa, tapi karena sudah terbiasa eni tidak
merisaukannya dan dia menganggap cibiran itu adalah sebagian dari dirinya. Eni
bukanlah gadis kuat, dia hanya terbiasa. Eni pernah tidak keluar rumah selama
seminggu karena takut dihina, tapi berkat tekad kuatnya dia memberanikan diri
menghadapi cibiran itu.
Saat pengumuman ujian nasional, eni
mendapatkan nilai tertinggi dari teman-temannya yang lain. Tentunya eni
sangat bahagia mendengar namanya terpanggil sebagai siswi dengan nilai ujian paling
tinggi di SMA itu. Dalam beberapa tahun terakhir belum ada siswa yang mendapat
nilai setinggi eni.
Eni sudah tidak sabar ingin
menunjukan nilai itu kepada ibunya. Sepulangnya dirumah eni memanggil ibunya
dengan perasaan gembira tapi ibunya tak menjawab, eni langsung berlari ke kamar
ibunya dan dia dapati ibunya sudah tergeletak lemas di lantai.
Eni berteriak minta tolong,
kemudian ibunya berbisik dan memohon agar eni segera menikah sehabis penguburan
ibunya. Eni yang saat itu sedang menangis pasrah, tidak dapat berkata-kata apalagi
membantah. Dia terpaksa harus berjanji untuk memenuhi permohonan itu dan
merelakan cita-citanya.
Begitulah kisah hidup seorang eni
yang harus mengorbankan cita-citanya hanya karena persoalan doktrin budaya. Sekarang
memang pemahaman kebanyakan orang mulai bergeser ke paradigma pesimisme, sehingga
orang-orang yang berbeda keyakinan dari lingkungannya akan dianggap berbeda dan
aneh, bahkan diasingkan.
Mengatasnamakan kearifan lokal
sehingga harus mengikuti doktrin budaya walaupun itu pembodohan dan merelakan
prinsip serta tekad yang lebih rasional. Miris melihat hal-hal seperti itu.
Mereka memandang rendah orang-orang yang berbeda sekalipun orang-orang berbeda
itu pergi kearah yang lebih baik.